ひとりワンルーム

This is my life

Sejak kemarin malam saya menonton anime Insomniacs After School karya Makoto Ojiro. Anime dengan genre slice-of-life ini dirilis pada musim semi tahun lalu dan sudah ada dalam wishlist saya, namun baru saya tonton sekarang.

君は放課後インソムニア

Poster anime “Insomniacs After School (君は放課後インソムニア),” karya Makoto Ojiro.

Sebelum menonton anime ini, saya sudah baca beberapa chapter manganya, dan juga beberapa karya Makoto Ojiro yang lain, seperti Neko no Otera no Chion-san (猫のお寺の知恩さん), misalnya (kumohon, yang ini jadikan anime juga).

Kesan saya setelah menonton anime ini: BAGUS BANGET! Apalagi buat mereka yang suka dengan genre slice-of-life serta romantis ringan. Bisa-bisanya saya diamkan anime sebagus ini selama setahun lebih.

Lalu, lagu opening dan ending dari anime ini jangan pernah dilewatkan. Lagu opening diisi oleh aiko dan ending oleh Homecomings. Selama 13 episode, saya tak pernah (dan tak ingin) skip lagu opening serta ending-nya. Lalu, background music anime ini juga jangan sampai dilewatkan dan dengarkan baik-baik. Betul-betul nyaman didengar di telinga dan menenangkan. Saya merekomendasikan pakai headphone agar kalian bisa menikmati lagu-lagunya dengan lebih baik.

Dari segi cerita pun juga sama bagusnya. Ringan, plot cerita yang minim konflik, tak banyak karakter yang muncul. Kisah romantis mereka pun juga membuat saya berkali-kali senyum-senyum sendiri.

Kesimpulan: saya sangat merekomendasikan anime ini. Sangat! Saya benar-benar kasih rating 10/10 untuk anime slice-of-life satu ini.

#Anime #Review

The Boy and the Heron

Poster film “The Boy and the Heron (2023),” dari Studio Ghibli.

⚠️ Tulisan di bawah ini mengandung spoiler film “The Boy and the Heron (2023).”

Film ini menceritakan seorang Mahiro, yang masih remaja, kehilangan Ibunya saat Perang Dunia Kedua berkecamuk. Dihantui kematian Ibunya, kemudian ia pun pindah bersama Ayahnya dari Tokyo ke sebuah desa di mana ibu tirinya yang baru bernama Natsuko tinggal. Saat sedang mencoba beradaptasi dengan lingkungan barunya, muncul sebuah bangau yang mengganggu Mahiro. Siapa bangau tersebut? Lantas bagaimana kehidupan Mahiro setelahnya?

Film ini khas Studio Ghibli dan Hayao Miyazaki sekali, membawa sedikit suasana Perang Dunia Kedua, dibumbui fantasi yang membuat kagum. Sepanjang film, saya diingatkan kembali dengan film-film Ghibli sebelumnya, seperti The Wind Rises (a.k.a. Kaze Tachinu), Spirited Away, dan Ponyo.

Dari segi cerita, saya pikir film ini tak cocok bagi mereka yang masih anak-anak atau baru memasuki remaja. Bisa saja mereka menonton film ini, namun saya rasa mereka tak mampu menikmati seluruhnya film ini. Alur cerita cukup pelan di awal, dan plot cerita pun agak membingungkan dan dalam untuk mereka yang tidak biasa dengan film Studio Ghibli (dan film-film Jepang pada umumnya). Yang membuat saya senang adalah tak banyak karakter utama di film ini, jadi saya bisa menikmatinya dengan baik.

Untuk visual, mungkin karena sudah biasa menonton film lain dari Studio Ghibli yang memang all-out bagusnya secara visual, jadi rasanya kali ini ya rasanya biasa-biasa saja di mata saya. Musiknya pun juga demikian, walaupun cukup kaget Kenshi Yonezu-lah yang mengisi ending song.

Secara keseluruhan, saya cukup puas dengan film Studio Ghibli terbaru ini, walau sayangnya saya merasa tak ingin menonton film ini untuk kedua kali (setidaknya untuk saat ini).

#Movie #Review

Setelah belasan tahun belajar bahasa Jepang, akhirnya saya sampai di level N3.

Di level ini, saya dapat membaca manga seperti Yotsubato! (dalam bahasa Jepang, tentunya) tanpa (atau dengan sedikit) kesulitan, dan juga buku-buku yang ditujukan untuk siswa sekolah dasar. Untuk membaca buku seperti buku novel atau nonfiksi dalam bahasa Jepang, saya masih cukup kesulitan karena masih menemukan kanji atau vocabulary yang belum saya ketahui.

“Saya ingin sekali bisa membaca novel atau buku nonfiksi dalam bahasa Jepang.”

Karena tak ingin menunggu hingga saya naik level ke N2 atau N1 untuk bisa membaca buku tersebut, saya pun menantang diri saya. Terinspirasi dari Blog Inhae, saya pun memutuskan untuk membuat project kecil, yaitu mentranslasi sebuah buku dalam bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia.

Kenapa translasi buku? Dengan menerjemahkan sebuah buku, saya pun membiasakan diri untuk baca teks bahasa Jepang, mendapatkan huruf kanji atau vocabulary yang belum saya ketahui, lalu mempelajarinya. Setelah memilih-milih beberapa buku yang saya punya, saya pun memilih buku ini:

Ilse Sand's Book

Cover buku “Do You Miss Someone? How to heal a damaged relationship – or let it go,” karya Ilse Sand. Terjemahan bahasa Jepang.

Kenapa buku ini? Ada beberapa alasan. Pertama, buku ini sudah lama ada di rak buku saya (namun tak kunjung dibaca). Kedua, saya suka dengan buku-buku karya Ilse Sand, seperti Highly Sensitive People in an Insensitive World dan The Emotional Compass: How to Think Better about Your Feelings. Ketiga, buku ini tak ada dalam bahasa Inggris, jadi saya tertarik untuk baca dalam bahasa Jepang dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Saya belajar kata baru, mendapatkan ilmu yang belum saya ketahui, lalu hitung-hitung belajar translasi sekalian.

Setelah baca-baca sekilas, buku ini ditujukan oleh mereka yang telah mencapai N2 atau bahkan N1. Namun, apakah saya putus asa karenanya? Tidak sama sekali. Untungnya saat ini banyak alat bantu untuk menerjemahkan, seperti DeepL Translator atau Linguist, misalnya.

Saat menulis tulisan ini, saya sudah selesai menerjemahkan bagian kata pengantar. Saya menargetkan ke diri sendiri untuk membaca dan menerjemahkan satu halaman per hari. Pelan memang, namun tak apa. Yang penting saya senang melakukannya.

#Note

YeYe – ゆらゆら(Official Music Video)

Walaupun video musik di atas merupakan breakup song, namun saya justru lebih memperhatikan bagaimana kehidupan sang pameran perempuan yang terlihat sederhana.

Dan hal tersebut merupakan hal yang saya inginkan. Hidup sederhana dan damai.

Selama mendengarkan lagu ini, saya membayangkan diri saya dalam beberapa tahun ke depan dapat membeli sebuah unit apartemen jenis low rise, lalu menempatinya bersama pasangan dan anak, lalu hidup dalam damai bersama mereka.

Ingin sebetulnya beli rumah, namun rasanya hal tersebut sulit digapai kalau melihat kondisi saat ini, jadi saya menurunkan standar saya.

Semoga keinginan di atas bisa terwujud.

#Note

Mencari kopi dengan harga murah namun dengan rasa yang selalu konsisten tidaklah mudah.

Beberapa kali, saya mendapatkan kopi yang saat pembelian pertama rasanya enak, namun saat pembelian kedua saya kecewa karena rasanya berbeda, padahal cara membuatnya sama.

Sampai kemudian saya menemukan kopi ini:

Kopi Tubruk Gadjah

Kopi Tubruk Gadjah kemasan 138 gram.

Saya membeli Kopi Tubruk Gadjah ini murni karena penasaran ingin mencoba hal yang baru. Berawal dari kopi Excelso Robusta Gold yang habis dan saya tak mampu untuk membeli yang baru, saya mencoba untuk membeli kopi murah di minimarket dekat rumah. Setelah memilih-milih dari beberapa merk, akhirnya saya pun memilih Kopi Tubruk Gadjah kemasan 138 gram yang harganya tak sampai 15 ribu Rupiah ini.

Walaupun ini kopi tubruk dengan tekstur yang halus, di rumah saya menyeduh kopi ini dengan menggunakan coffee dripper beserta filter yang saya beli di Daiso.

Bagaimana dengan rasanya? Untuk rasanya, saya suka. Cukup pahit walau tidak berlebihan dan tidak begitu asam. Lumayan nyaman di perut. Secara keseluruhan, kopi ini pas dengan lidah saya saat saya coba pertama kali.

Apakah di pembelian kedua rasanya tetap sama?

Beberapa hari yang lalu, saya membeli kopi ini untuk kedua kalinya. Saya pun membuat dengan metode yang sama: menggunakan coffee dripper. Hasilnya? rasanya tetap sama. Konsisten. Sejak saat itulah, saya memutuskan Kopi Tubruk Gadjah ini sebagai salah satu kopi favorit saya.

#Review

Tadi, ada kejadian menarik yang rasanya bisa untuk ditulis di sini, walaupun tulisan ini merupakan tulisan receh.

Sekitar jam 6 sore, saya pergi ke minimarket untuk membeli minuman soda dingin. Saya memutuskan membeli minuman tersebut karena cuaca sepanjang hari ini cukup panas dan saya ingin melepas dahaga dengan minum minuman manis yang ringan, bukan kopi yang dirasa cukup berat.

Saat berdiri di depan pintu minimarket, saya melihat perempuan berusia 20-an dengan hijab coklat muda berjalan keluar menuju pintu. Karena kebetulan, saya pun membukakan pintu untuknya sekalian. Ia pun berterima kasih dengan suara pelan, lalu pergi.

Setelah mengambil minuman soda yang saya inginkan, saya pun ke kasir untuk membayar. Di sana, terdapat dua orang yang kebetulan adalah ayah dan anak laki-laki lebih dulu datang dengan membawa sekeranjang penuh belanjaan. Saya pun antri di belakangnya, sambil memikirkan berapa lama saya harus menunggu, apalagi belanjaan ayah dan anak tersebut terbilang banyak. Tak disangka, ayah dari anak tersebut melihat saya dan barang belanjaan saya yang hanya sebotol minuman soda, lalu mempersilakan saya untuk membayar terlebih dahulu. “Terima kasih banyak,” kataku dalam hati.

Saat perjalanan pulang, saya terus terpikir kejadian tersebut, dan terpikir kalau kejadian tadi adalah satu kebaikan kecil yang langsung dibayar lunas oleh Tuhan.

Terima kasih banyak dan maafkan saya yang tak mengucapkan terima kasih secara langsung tadi.

#Note

Dragon Sakura S2

⚠️ Tulisan ini mengandung spoiler Dragon Sakura S2

Belasan tahun yang lalu, ketika saya duduk di kelas 3 SMA dan ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi sudah dekat, mentor saya memberikan drama Dragon Sakura season pertama. Saat itu, saya memang sedang putus asa bagaimana caranya saya bisa lulus ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi, sementara nilai try out saya tidak ada peningkatan berarti.

Saya pun menerima drama Dragon Sakura tersebut, lalu menontonnya di rumah. Setelah menonton kesemua episodenya, saya termotivasi oleh kata-kata dari sang guru, Sakuragi-sensei (diperankan oleh Abe Hiroshi), dan belajar lebih giat. Alhasil, saya bisa lulus ujian nasional (giri-giri safe) dan masuk salah satu perguruan swasta terbaik dengan bermodalkan nilai rapor saja, tanpa tes apapun.

Sepuluh tahun kemudian, awal bulan Maret, ketika saya mencoba bagaimana memotivasi diri sendiri untuk ujian JLPT N3 di bulan Juli nanti, saya mendapat notifikasi kalau Dragon Sakura season kedua tayang di Netflix. Saya langsung menonton kesemua episodenya dengan pace 1-2 episode per hari. Seminggu berselang, saya telah menamatkan drama tersebut.

Yang saya suka dari season 2 kali ini adalah metode belajar yang lebih modern dan beragam jika dibandingkan dengan season pertama. Saya suka bagian di mana Amano (yang diperankan oleh Kato Seishiro) yang selalu konsisten meng-upload video di YouTube agar bahasa Inggrisnya lebih baik. Selain itu, saya juga suka di mana kepala sekolah, ternyata cukup peduli dengan siswanya dan bersedia menolong Sakuragi-sensei agar mereka bisa lulus ujian masuk Todai, walaupun dengan risiko posisinya sebagai kepala sekolah dicabut.

Masalah antara siswa serta keluarga tak luput dalam Dragon Sakura kali ini, Seperti ayah Kosugi yang tak ingin anaknya masuk universitas, orangtua Iwasaki yang ingin anaknya bertanding di olimpiade, serta Seto dengan hutang keluarganya yang tak sedikit. Bersama Sakuragi dan Mizuno-sensei, mereka berjuang mengatasi masalah yang mereka hadapi sampai akhir.

Seperti season awal, kata-kata Sakuragi-sensei, entah itu mengenai kehidupan atau tips dan trik menghadapi ujian di setiap episodenya selalu berkesan dalam hati saya. Saya sering sekali pause video setiap kali menemukan kata-kata bagus dari ucapan Sakuragi-sensei, lalu mencatatnya di memo.

Secara keseluruhan, saya suka sekali dengan drama Dragon Sakura ini. Dan untuk kalian yang akan menghadapi ujian (ujian sekolah, ujian masuk PTN atau PTS, TOEFL, dan lainnya), drama ini bisa menjadi tontonan atau inspirasi tips ujian saat rehat belajar.

My Rating (1-5)

  • Overall: 4.5
  • Story: 4
  • Acting/Cast: 4
  • Music: 3.5
  • Rewatch Value: 4.5

#Review

Selama kalian hidup, pernakah kalian berada di situasi yang membuat kalian hampir kehilangan nyawa?

Saya pernah. Beberapa kali bahkan.

Yang pertama, saat SMA saya hampir dikeroyok oleh sekelompok anak STM saat pulang dari sekolah menuju ke rumah. Awalnya saya santai saat melihat kerumunan pelajar tersebut dari kejauhan. Begitu saya mulai mendekati mereka (karena kebetulan jalan yang saya tuju dekat dengan mereka), salah satu dari kerumunan tersebut menunjuk saya dan yang lain langsung mengejar saya. Ada yang bawa tongkat golf, gir motor yang diikat dengan ikat pinggang, dan batu. Melihat hal tersebut, saya lari sekencang-kencangnya kembali ke sekolah untuk berlindung. Sejak saat itu, saya tak pernah lagi jalan kaki sepulang sekolah dan memilih untuk naik angkot saja.

Kedua, ketika saya kuliah (circa 2012), saya dan adik saya hampir ditabrak oleh mobil kontainer dalam perjalanan menuju mal. Saat itu, saya dan adik hendak menuju ke mal di bilangan utara Jakarta.

Utara Jakarta, terutama sekitar pelabuhan, banyak sekali mobil berukuran besar berlalu-lalang dari pagi hingga malam. Saat itu siang hari, di akhir pekan yang cerah. Kondisi jalan cukup lancar. Saat itu, yang bertugas membawa motor saat itu adalah saya.

Singkat cerita, di tengah perjalanan, saya melewati jalan yang rusak dan motor saya oleng ke kiri karenanya. Di sebelah kiri, dengan tiba-tiba mobil kontainer tanpa muatan melewati saya dengan kecepatan tinggi. Jarak saya dengan mobil kontainer tersebut hanya beberapa jengkal saja. Betul-betul nyaris tergilas. Saya langsung menepi karena syok, lalu melanjutkan perjalanan tak lama kemudian. Dari kejadian ini, saya pun jadi jarang membawa motor, kecuali dalam keadaan terpaksa.

Ketiga, kejadiannya berada di Malaysia. Saat itu, bulan Februari 2014, saya berada dalam bus dalam perjalanan dari Kuala Lumpur, Malaysia menuju Singapura.

Saya berangkat dari Kuala Lumpur pada dini hari. Lalu, sekitar pukul 2:30 dini hari, bus yang saya kendarai oleng dan nyaris menabrak mobil yang ada di depannya. Karena panik, supir bus membanting stir ke kiri dan nyaris menabrak pembatas jalan. Saya (dan mungkin semua penumpang di dalamnya) syok karenanya. Bus yang saya naiki pun berhenti. Sang supir lantas mengecek sekeliling bus—luar serta dalam, untuk memastikan kondisi bus dan penumpang baik-baik saja, lalu kembali melanjutkan perjalanan.

Sebelum masuk checkpoint di Johor Bahru-Woodlands, bus saya berhenti di rest area dan saya pun turun sebentar untuk ke toilet. Saat di toilet, kaki saya gemetaran hebat ketika mengingat kejadian yang baru saja saya alami. Syukurlah, di pukul 5 saya sampai dengan selamat di Singapura dan langsung tepar setibanya di kamar hotel.

Begitulah beberapa kejadian 'hampir meninggal' saya selama hidup.

#Note

A few hours ago, I wanted to play a video with an mp4 format using VLC on my Fedora 39. When I played the video, I got an error with the message below:

Codec not supported:
VLC could not decode the format "hevc" (MPEG-H Part2/HEVC (H.265))

Codec not supported:
VLC could not decode the format "mp4a" (MPEG AAC Audio)

Codec not supported:
VLC could not decode the format "h264" (H264 - MPEG-4 AVC (part 10))

Codec not supported:
VLC could not decode the format "mp4a" (MPEG AAC Audio)

The problem is VLC does not have the codec to play my video. I tried to search the solution and finally found it. If you have the same problem, I hope this post can help. Here is the solution:

Run the following commands in your Terminal, one by one, to install multimedia codecs in your Fedora system:

$ sudo dnf install gstreamer1-plugins-{bad-\*,good-\*,base} gstreamer1-plugin-openh264 gstreamer1-plugin-libav --exclude=gstreamer1-plugins-bad-free-devel

Next, run the following commands:

$ sudo dnf install lame\* --exclude=lame-devel

$ sudo dnf group upgrade --with-optional Multimedia

If you got a message like this:

No match for group package "gimp-heif-plugin"
Error: 
 Problem 1: problem with installed package ffmpeg-free-6.1.1-3.fc39.x86_64
  - package ffmpeg-6.0-16.fc39.x86_64 from rpmfusion-free conflicts with ffmpeg-free provided by ffmpeg-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from @System
  - package ffmpeg-6.0-16.fc39.x86_64 from rpmfusion-free conflicts with ffmpeg-free provided by ffmpeg-free-6.0-11.fc39.x86_64 from fedora
  - package ffmpeg-6.0-16.fc39.x86_64 from rpmfusion-free conflicts with ffmpeg-free provided by ffmpeg-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from updates
  - conflicting requests
  - package ffmpeg-6.1.1-5.fc39.x86_64 from rpmfusion-free-updates conflicts with ffmpeg-free provided by ffmpeg-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from @System
  - package ffmpeg-6.1.1-5.fc39.x86_64 from rpmfusion-free-updates conflicts with ffmpeg-free provided by ffmpeg-free-6.0-11.fc39.x86_64 from fedora
  - package ffmpeg-6.1.1-5.fc39.x86_64 from rpmfusion-free-updates conflicts with ffmpeg-free provided by ffmpeg-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from updates
 Problem 2: problem with installed package firefox-124.0.1-1.fc39.x86_64
  - conflicting requests
  - package ffmpeg-libs-6.0-16.fc39.i686 from rpmfusion-free conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from updates
  - package ffmpeg-libs-6.0-16.fc39.x86_64 from rpmfusion-free conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from updates
  - package ffmpeg-libs-6.1.1-5.fc39.i686 from rpmfusion-free-updates conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from updates
  - package ffmpeg-libs-6.1.1-5.fc39.x86_64 from rpmfusion-free-updates conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from updates
  - problem with installed package libavcodec-free-6.1.1-3.fc39.x86_64
  - package ffmpeg-libs-6.0-16.fc39.i686 from rpmfusion-free conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from @System
  - package ffmpeg-libs-6.0-16.fc39.x86_64 from rpmfusion-free conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from @System
  - package ffmpeg-libs-6.1.1-5.fc39.i686 from rpmfusion-free-updates conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from @System
  - package ffmpeg-libs-6.1.1-5.fc39.x86_64 from rpmfusion-free-updates conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.1.1-3.fc39.x86_64 from @System
  - package ffmpeg-libs-6.0-16.fc39.i686 from rpmfusion-free conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.0-11.fc39.x86_64 from fedora
  - package ffmpeg-libs-6.0-16.fc39.x86_64 from rpmfusion-free conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.0-11.fc39.x86_64 from fedora
  - package ffmpeg-libs-6.1.1-5.fc39.i686 from rpmfusion-free-updates conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.0-11.fc39.x86_64 from fedora
  - package ffmpeg-libs-6.1.1-5.fc39.x86_64 from rpmfusion-free-updates conflicts with libavcodec-free provided by libavcodec-free-6.0-11.fc39.x86_64 from fedora
(try to add '--allowerasing' to command line to replace conflicting packages or '--skip-broken' to skip uninstallable packages)

Simply add --allowerasing in the above command to replace conflicting packages and try again:

$ sudo dnf group upgrade --with-optional --allowerasing Multimedia

If the above command doesn't work either, you can add --skip-broken flag to skip uninstallable packages and try again:

$ sudo dnf group upgrade --with-optional --skip-broken Multimedia

After that, uninstall your VLC and install it again using this command:

$ sudo dnf install vlc

Then, play the video. At this stage, you should have all necessary multimedia codecs to play almost all media files in your Fedora workstation.


Read more:

#OpenSource #Fedora

Dulu, setelah saya selesai membaca buku yang saya beli, saya pasti taruh di rak buku.

Lalu, banjir datang. Buku saya pun basah dan rusak karenanya. Baiklah.

Tak hanya itu, kondisi lembap kamar—ditambah tak ada AC, membuat buku-buku saya juga menguning.

Karena sayang kalau harus mengoleksi buku dengan kondisi seperti itu, sekarang ini jika saya selesai membaca suatu buku, saya putuskan untuk dijual kembali atau saya sumbang ke perpustakaan. Yang penting, si penerima mau menjaga bukunya baik-baik.

#Note