ひとりワンルーム

Movie

Poster film Insomniacs After School (2023).

⚠️ Warning: mengandung spoiler film.

Film ini menceritakan seorang Ganta Nanami (yang diperankan oleh Daiken Okudaira), yang menderita insomnia, mencoba untuk tidur siang di observatorium astronomi sekolahnya yang berada dalam kondisi terbengkalai. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis periang bernama Isaki Magari (yang diperankan oleh Nana Mori) yang ternyata memiliki masalah yang sama. Keduanya lalu menjalin persahabatan serta membangun kembali klub astronomi yang sudah lama tak aktif.

Sepanjang film, saya selalu terpikir untuk membandingkannya dengan anime. Hal yang paling terasa sekali buat saya adalah love language antara mereka berdua yang awalnya canggung sampai saling suka tak begitu terasa dibandingkan dengan anime-nya. Padahal gestur-gestur kecil antara mereka berdualah yang saya tunggu-tunggu di film ini. Walau demikian, film ini berhasil merangkum satu season anime dalam film berdurasi hampir dua jam ini dengan baik. Pemilihan aktor dan aktris buat saya juga pas, terutama Magari yang diperankan oleh Nana Mori.

Bulan depan, film ini akan diputar di beberapa bioskop CGV di Indonesia. Buat kalian yang ingin menonton film persahabatan dan romansa ringan, film ini bisa menjadi pilihan.

Sedikit catatan dari saya: tonton film ini sampai akhir (termasuk bagian credit).

Sekian dan terima kasih banyak sudah membaca!

#Movie #Review

Twenty-Four Eyes

Poster film Twenty-Four Eyes (1954).

⚠️ Tulisan di bawah ini mengandung spoiler film “Twenty-Four Eyes (1954).”

Film ini menceritakan kisah kehidupan seorang guru sekolah beserta keduabelas muridnya di antara tahun 1928 hingga tahun 1946, satu tahun setelah Perang Dunia Kedua berakhir.

Saat menonton film ini, memperhatikan seperti apa kehidupan masyarakat Jepang pada akhir tahun 1920-an, ternyata menarik juga. Hampir semua orang masih memakai yukata (atau kimono) dalam kesehariannya, lalu memakai sepeda dan memakai pakaian selain yukata masih dipandang negatif oleh orang-orang.

Saat menonton, saya juga sempat membandingkan kehidupan saya saat SD dulu dengan para anak-anak di film ini. Menonton film ini saya tersadar, zaman boleh berganti, namun setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Orangtua yang mengekang anaknya untuk melakukan hal yang mereka inginkan, lalu guru yang tidak boleh bicara sembarangan agar tidak dianggap melawan negara sendiri.

Saat mereka dewasa, ternyata kehidupan mereka tak seperti yang mereka inginkan saat kecil. Perang berkecamuk, lalu ada pula yang diasingkan oleh keluarga karena TBC, serta kehilangan orang yang disayangi kala perang.

Film ini merupakan salah satu film dengan tema guru dan murid yang rasanya patut untuk ditonton oleh semua kalangan usia.

Seingat saya, film ini diadaptasi dari novel dengan judul yang sama dan novelnya sudah ada dalam bahasa Indonesia. Lain kali kalau saya ke toko buku, saya akan cari dan membelinya.

#Movie #Review

The Boy and the Heron

Poster film “The Boy and the Heron (2023),” dari Studio Ghibli.

⚠️ Tulisan di bawah ini mengandung spoiler film “The Boy and the Heron (2023).”

Film ini menceritakan seorang Mahiro, yang masih remaja, kehilangan Ibunya saat Perang Dunia Kedua berkecamuk. Dihantui kematian Ibunya, kemudian ia pun pindah bersama Ayahnya dari Tokyo ke sebuah desa di mana ibu tirinya yang baru bernama Natsuko tinggal. Saat sedang mencoba beradaptasi dengan lingkungan barunya, muncul sebuah bangau yang mengganggu Mahiro. Siapa bangau tersebut? Lantas bagaimana kehidupan Mahiro setelahnya?

Film ini khas Studio Ghibli dan Hayao Miyazaki sekali, membawa sedikit suasana Perang Dunia Kedua, dibumbui fantasi yang membuat kagum. Sepanjang film, saya diingatkan kembali dengan film-film Ghibli sebelumnya, seperti The Wind Rises (a.k.a. Kaze Tachinu), Spirited Away, dan Ponyo.

Dari segi cerita, saya pikir film ini tak cocok bagi mereka yang masih anak-anak atau baru memasuki remaja. Bisa saja mereka menonton film ini, namun saya rasa mereka tak mampu menikmati seluruhnya film ini. Alur cerita cukup pelan di awal, dan plot cerita pun agak membingungkan dan dalam untuk mereka yang tidak biasa dengan film Studio Ghibli (dan film-film Jepang pada umumnya). Yang membuat saya senang adalah tak banyak karakter utama di film ini, jadi saya bisa menikmatinya dengan baik.

Untuk visual, mungkin karena sudah biasa menonton film lain dari Studio Ghibli yang memang all-out bagusnya secara visual, jadi rasanya kali ini ya rasanya biasa-biasa saja di mata saya. Musiknya pun juga demikian, walaupun cukup kaget Kenshi Yonezu-lah yang mengisi ending song.

Secara keseluruhan, saya cukup puas dengan film Studio Ghibli terbaru ini, walau sayangnya saya merasa tak ingin menonton film ini untuk kedua kali (setidaknya untuk saat ini).

#Movie #Review