ひとりワンルーム

Note

Dulu, setelah saya selesai membaca buku yang saya beli, saya pasti taruh di rak buku.

Lalu, banjir datang. Buku saya pun basah dan rusak karenanya. Baiklah.

Tak hanya itu, kondisi lembap kamar—ditambah tak ada AC, membuat buku-buku saya juga menguning.

Karena sayang kalau harus mengoleksi buku dengan kondisi seperti itu, sekarang ini jika saya selesai membaca suatu buku, saya putuskan untuk dijual kembali atau saya sumbang ke perpustakaan. Yang penting, si penerima mau menjaga bukunya baik-baik.

#Note

Dear Akemi,

It’s been exactly 13 years since you left me, and I’m still having trouble believing you’re gone. Every time I think of you, I have to remind myself that you’re no longer here. I think about you so many times a day, hoping you’ll message me and say hi, but I know it’s impossible.

Someone tries to tell me that everything’ll be okay. But, will it ever? I don’t think so. I can’t imagine living the rest of my life without you here. I thought we were really close and that you’d never leave me. Not without at least first saying goodbye. I wasn’t ready for you to die. I hope you’re good in Heaven. Take care, Akemi.

-Hiki

akemi

#Note

Kak, kita ke Puncak, yuk?

Adik saya melontarkan kalimat tersebut ketika saya mencoba untuk tidur lebih awal kemarin malam.

Awalnya, saya menolak ajakan adik saya karena saya ingin rebahan di kamar saja. Namun, ketika adik saya sudah siap dan tinggal naik mobil, saya pun memutuskan untuk ikut bersamanya ke Puncak karena saya masih belum mengantuk sama sekali dan daripada bengong sampai pagi di kamar, mending pergi saja, pulang pagi, terus tidur.

Selama perjalanan, kami sempat berhenti di rest area di daerah Cibubur untuk ke toilet (karena sebelum berangkat saya minum kopi, bodohnya). Saat jalan ke toilet, saya memperhatikan kondisi rest area yang relatif sepi. Yang paling terlihat jelas adalah Starbucks yang sepi oleh pelanggan (bahkan bisa dihitung dengan jari).

Setelah beristirahat sejenak di rest area, kami pun melanjutkan perjalanan. Perjalanan ke Puncak relatif lancar, dan sedikit padat merayap menjelang tiba di tujuan: masjid Atta'awun.

Sesampainya di sana sekitar pukul satu dini hari, saya dan adik mampir ke tempat makan yang berlokasi tepat di seberang pintu masuk masjid dan memesan mie rebus rasa kari ayam dan roti bakar. Udara yang sejuk serta aroma arang dan jagung bakar entah kenapa memberi suasana menyenangkan saat makan bersama adik.

Setelah makan, kami pun masuk ke masjid untuk salat serta istirahat sejenak hingga salat subuh tiba. Akan tetapi, saya mengurungkan diri untuk istirahat di dalam masjid sehabis salat begitu melihat di dalam masjid banyak orang yang beristirahat, baik laki-laki maupun perempuan—dan memilih beristirahat di dalam mobil.

Menjelang subuh tiba, saya bangun dan mampir makan sekuteng (untuk pertama kalinya). Ternyata rasanya enak dan setelah makan badan terasa hangat karena sekuteng disajikan hangat, dan rasa jahe pada sekuteng terasa sekali. betul-betul nyaman sekali di perut.

Sekuteng

Sekuteng hangat dengan jahe.

Setelah salat subuh, kami pun langsung pulang karena tak mau terjebak dengan rekayasa buka-tutup jalur. Di perjalanan pulang, kami sempat mengalami masalah kecil pada ban mobil, namun untungnya masih dapat diperbaiki. Selain itu, perjalanan pulang cukup lancar dan kami pun tiba di rumah sekitar pukul 7:30 pagi.

Ternyata menyenangkan juga melakukan perjalanan spontan begini.

#Note

convenient

Baiklah, saya katakan sekali lagi: pulanglah dan kunjungi website kami dari komputer anda, buat akun, lalu beli tiketnya dengan debit atau kartu kredit, unduh tiketnya ke smartphone, lalu kembali lagi pada jam yang telah anda tentukan. Bagian 'mudah dan praktis' mana yang anda tak mengerti?

Gambar di atas adalah salah satu contoh 'mudah dan praktis' di era digital saat ini.

Saya pun mengalami hal yang serupa awal bulan lalu.

Di awal bulan September, saya memutuskan untuk mencabut beberapa gigi yang sudah tak tertolong di dokter gigi dekat rumah. Singkat cerita, setelah berkonsultasi lebih jauh, beberapa gigi saya harus ditangani khusus di rumah sakit dengan fasilitas yang lebih baik. Dokter gigi saya pun memberikan surat rujukan ke rumah sakit tersebut.

Karena saya tak tahu bagaimana prosedur registrasi pasien baru di sana, saya pun membuka website rumah sakit tersebut. Dan benar saja, ternyata untuk daftar kunjungan saya harus mengunduh terlebih dahulu aplikasi rumah sakit tersebut, lalu masukkan nomor kartu BPJS atau nomor kartu pasien dan pilih poli serta dokter yang dituju. Singkat cerita, saya gagal melakukan pendaftaran karena nomor BPJS saya tak terdaftar di rumah sakit tersebut, padahal saya sudah memiliki surat rujukan. Akhirnya saya memutuskan untuk datang langsung ke rumah sakit tersebut keesokan harinya.

Setiba di sana keesokan harinya, saya harus menunggu selama kurang lebih tiga jam untuk registrasi pasien baru dan daftar ke poli yang dituju. Sesampainya di poli yang dituju, saya tak langsung mendapatkan tindakan. Hanya screening gigi mana yang akan dicabut. Setelah itu, dokter mengatakan saya harus kembali lagi dua minggu lagi sebelum mendapatkan tindakan lebih lanjut.

Lalu, satu hari sebelum tanggal kunjungan berikutnya, saya mencoba untuk mendaftar di aplikasi rumah sakit tersebut. Karena sudah punya surat rujukan, serta memiliki kartu rumah sakit dan nomor BPJS, saya pikir harusnya tak ada masalah. Nyatanya, saat saya mencoba mendaftar saya menerima pesan eror yang mengatakan kalau poli saya tak terdaftar. Loh, kok begini?

Akhirnya, saya mengurungkan niat untuk cabut gigi di rumah sakit tersebut dan pindah ke rumah sakit lain yang prosedur pendaftarannya tak bertele-tele.

Di era digital sekarang ini, terutama semenjak pandemi (di mana era digital berkembang cukup pesat), kita sering mendengar “download aplikasi kita, kak” atau semacamnya pada layanan yang kita ingin gunakan.

Apa-apa harus download aplikasi, apa-apa harus registrasi dari aplikasi. Memang, ada beberapa layanan aplikasi yang memberikan kemudahan seperti aplikasi Gojek, Grab, atau aplikasi e-commerce, misalnya—di mana sebagai pelanggan kita tak perlu lagi susah-susah cari ojek dan tawar-menawar harga, serta tak harus pergi keluar untuk membeli sesuatu. Namun, kalau layanan aplikasi yang ditawarkan justru menyusahkan penggunanya (terutama pengguna disabilitas atau lansia yang tak mengerti teknologi) dibandingkan datang langsung (seperti kasus saya dan pada gambar di atas), apakah masih pantas layanan dengan aplikasi 'mudah dan praktis'?

#Note

Our life without a computer: what does it look like?

Apakah kehidupan orang-orang akan sulit jika tak ada komputer?[1]

Seandainya di kehidupan saya tidak ada komputer sama sekali, saya melihat diri saya menghabiskan waktu luang dengan membaca buku, majalah, koran, atau komik sembari minum kopi atau susu. Setiap kali saya ada uang, saya akan ke toko buku dan melihat-lihat rak toko buku dengan teliti. Lalu, ketika saya menemukan buku atau manga yang saya inginkan di rak dan harganya sesuai dengan budget saya, saya langsung ke kasir dan membayarnya. Saya akan berlangganan koran setiap bulannya dan juga berlangganan majalah tentang budaya Jepang dan majalah National Geographic (termasuk National Geographic Traveler). Tidak membaca apapun seharian penuh adalah hal yang sulit bagi saya.

Kalau saya sudah lelah membaca, saya akan menulis surat atau kartu pos ke teman terdekat. Saya membeli kertas surat dan kartu pos di toko buku dan perangko di kantor pos terdekat. Saya akan memilih desain perangko dan juga kertas surat atau kartu pos dengan hati-hati, dan berharap yang menerima surat atau kartu pos suka dengan apa yang saya pilih.

Lalu, saya melihat diri saya mendengarkan lagu lewat radio sampai saya tertidur. Kalau saya sedang suka sekali dengan salah satu lagu atau album dari suatu artis, saya akan pergi ke toko musik dan membeli kaset atau CD album yang saya inginkan dan memutarnya berkali-kali di pemutar kaset atau CD.

Kalau saya ingin menulis, saya akan menulis di sebuah buku kecil namun tebal dengan pensil mekanik yang nyaman digenggam, serta penghapus yang dapat menghapus dengan bersih. Saya akan menulis apapun yang ingin saya tulis di buku tersebut. Saya pun melihat diri saya memiliki banyak jilid buku yang telah saya tulis.

Hidup tanpa komputer pun tak selamanya nikmat.

Membeli tiket transportasi umum seperti tiket pesawat, misalnya—rasanya akan sulit. Jika keluarga ingin mudik, mau tak mau kami harus ke agen tiket dan membelinya di sana dengan harga yang mungkin cukup mahal. Kalau kehabisan tiket pesawat, kami akan membeli tiket kapal laut dan menghabiskan waktu selama tiga hari terombang-ambing di laut Jawa.

Begitupun dengan tiket konser. Kalau kehabisan tiket konser yang saya inginkan, saya mungkin akan membeli kepada calo tiket yang pastinya dengan harga mahal—atau hanya bisa melihat kemeriahannya dengan menonton beritanya di televisi atau membaca artikelnya di koran atau majalah (itupun kalau diliput).

Melamar kerja pun juga tak praktis. Saya akan mencari lowongan kerja pada kolom lowongan pekerjaan di koran harian. Jika saya sudah menemukan lowongan pekerjaan yang saya inginkan, saya akan mengirim CV serta dokumen lain yang dibutuhkan melalui pos atau saya akan datang ke perusahaannya dan memberikan CV saya secara langsung.

Rasanya itulah hal yang penting bagi saya jika di kehidupan saya tak ada komputer. Dengan segala ketidakpraktisannya, kehidupan saya akan tetap berlanjut.


[1] terinspirasi dari artikel blog rufindhi di https://rufindhi.wordpress.com/2023/10/05/if-computer-doesnt-exist-in-our-life

#Note

Dari awal bulan September sampai dengan hari ini apa saja yang telah kamu lakukan?

Kalimat tersebut terngiang-ngiang di kepala sepanjang hari ini.

Akhir bulan lalu, Psikiater saya mulai menurunkan dosis obat yang harus saya minum karena melihat kondisi saya yang mulai membaik.

Tiga hari kemudian sejak konsultasi terakhir, mood saya kembali memburuk, seakan mengatakan kalau tubuh saya masih belum siap dengan dosis obat yang baru. Saya merasa hampa—tak bisa merasakan senang ataupun sedih. Selain itu, apapun hal penting yang ingin saya kerjakan selalu terasa berat dan sulit, dan pada akhirnya saya tak melakukan apapun. Yang saya lakukan dari awal bulan sampai dengan hari ini hanyalah bermain games dan membaca buku. Saya tidak apply lowongan kerja ataupun belajar untuk JLPT N3 sama sekali. Selain itu, seminggu terakhir suhu udara serta kelembapan di tempat saya tinggal cukup tinggi, sehingga saya pun jatuh sakit. Sudah mental sakit, ditambah fisik pun ikut sakit.

Saya mulai merasa baikan hari ini. Mood mulai membaik dan kondisi fisik saya pun juga telah membaik dibandingkan kemarin. Syukurlah.

Kalau kondisi saya tetap stabil, saya akan kembali berlari seperti sebelumnya, mulai apply lowongan kerja lagi, dan belajar untuk N3 mulai weekend ini.

#Note #MentalHealth

Halo dan salam kenal bagi kalian yang membaca postingan pertama saya ini.

Perkenalkan, saya Hiki.

Perjalanan saya dengan Fediverse dimulai pertama kali pada tahun 2020, di mana pandemi baru dimulai dan informasi mengenai pandemi (baik itu benar dan salah) berseliweran dengan deras di berbagai sosial media mainstream seperti Facebook, Twitter (atau sekarang dikenal dengan X), Instagram, atau TikTok. Karena saya tak tahan dengan kondisi banjir informasi seperti itu, ditambah lagi saya tipe orang yang mudah cemas, di bulan April 2020 saya memutuskan untuk menghapus semua sosial media yang saya punya saat itu seperti Facebook dan Twitter, dan beralih ke alternatif yang lebih baik untuk kesehatan mental saya. Di situlah saya menemukan Fediverse, dan setelah dua tahun lebih berkelana di Fedi, saya tak menyesali keputusan saya pindah ke sini.

Kegiatan saya sehari-hari biasanya adalah mendengarkan lagu, apapun genre-nya, sambil mengutak-atik laptop (atau smartphone), atau membaca light novel. Jika sedang tidak mendengarkan lagu, saya biasa bermain games PSP atau Nintendo DS, menulis kartu pos, belajar bahasa asing—atau apapun yang belum saya pelajari dan penasaran untuk mempelajarinya.

Sekian atas perkenalan singkatnya. Terima kasih banyak sudah membaca tulisan ini sampai selesai.

Sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya.

Salam, – Hiki

#Note #Introduction