ひとりワンルーム

This is my life

This is the tale of the members of a Beatles cover band in Tokyo who find themselves transported back in time to 1961—before anyone had ever heard of the Beatles—and decide to take the mantle of the world's greatest rock band for themselves! But will they dare to pursue this dream until the end?

Manga ini saya temukan secara tak sengaja hari ini.

Setelah baca sinopsis manga-nya yang terdengar menarik, saya pun baca beberapa chapter.

Awal membaca, gaya gambarnya terasa familiar di saya. Setelah cari tahu lebih lanjut, ternyata yang membuat manga ini adalah Kawaguchi Kaiji (serta Fujii Tetsuo). Sebelum saya baca manga ini, saya pernah baca manga karya Kawaguchi Kaiji yang lain, seperti Zipang, yang cukup terkenal di awal dekade 2000-an dan pernah terbit juga manga-nya dalam bahasa Indonesia. Kalau kalian suka dengan Zipang, rasanya bakal suka juga dengan We are The Beatles (atau 僕はビートルズ) ini.

Karena manga ini tak panjang, mari saya lanjut baca sampai habis.

#Manga #Note

その横顔を見てるだけで、

途方もなく時間が経ったような、

でも一瞬だったような。

#Poem #Japanese

死にたい…

死ねれば楽になる…

なんて昔若い頃は散々思った。

だからむちゃくちゃやった。

結果死ぬ事はできなかった。

だけど、歳を重ねることによって

誰と出会うかどう付き合うか

自分の為に必要か?

見極めることが出来る事によって

凄く生きてて良かったと30代になって

分かった。

死ぬ事はいつでも出来る。

でも楽しい事はこれから先まだまだ

沢山あると歳を重ねる事によって

分かることが出来た。

死ぬまでに

やりたい事、行きたい場所。

それをやるまで死にたくは無い。

後悔したままワタシは

死にたくない。

#Poem #Japanese

“Tepat hari ini, tanggal 25 Februari 20 tahun yang lalu... Aku berpisah dengan cita-citaku.”

-Nobisuke Nobi, Ayah Nobita (dalam komik Doraemon)

Di tanggal 25 Februari, Nobisuke Nobi, Ayah Nobita, memutuskan untuk berpisah dengan cita-citanya dan melanjutkan hidup sebagai pegawai biasa.

Sementara saya, pada hari ini, tanggal 27 April 2025, saya memutuskan untuk berpisah dengan cita-cita saya sebagai seorang Engineer dan hidup sebagai warga biasa.

Hal ini bukan tanpa alasan.

Mungkin saya harus kilas balik sedikit mengenai hidup saya.

Saat SD hingga SMA, saya bercita-cita ingin menjadi seorang Arsitek karena pada saat itu saya senang sekali menggambar latar belakang, seperti rumah maupun gedung. Sayangnya, cita-cita tersebut pupus karena orangtua saya tak mengizinkan saya menjadi seorang Arsitek. Ia merasa bahwa saya lebih cocok menjadi sebagai seorang Engineer di perusahaan migas. Terlebih lagi, pada saat itu harga minyak dunia sedang tinggi-tingginya.

Saya pun terpaksa menuruti keinginan orangtua saya dan kuliah di teknik perminyakan karena merekalah yang membiayai kuliah saya.

Saat kuliah, nilai-nilai saya jelek, busuk malah. Bahkan, IP saya pernah nasakom alias satu koma pada suatu semester. Saya hampir drop-out dari kuliah sebelum pada akhirnya saya diajar oleh dosen Geologi yang membimbing saya kembali ke jalur yang benar. Namanya adalah “dosen S.” Ia tak hanya mengajari seluk-beluk Geologi, namun juga mengajari tentang kehidupan. Sejak diajar olehnya, saya mempunyai impian baru: menjadi seorang Geologist. Selama semester itu, saya berusaha keras keluar dari keterpurukan dan pada akhir semester saya mendapatkan IP tiga koma, dengan nilai Geologi yang bisa dibilang hampir sempurna.

Akan tetapi, di semester berikutnya dosen S memutuskan untuk berhenti mengajar dan kembali bekerja di luar negeri.

Berkat dosen S, semangat saya tak padam, bahkan makin menyala. Pernah dalam beberapa semester saya mendapatkan IP 4: sempurna. Semua mata kuliah bernilai A.

Di semester akhir, saya menghadapi beberapa hambatan. Mulai dari sulitnya mencari data untuk tugas akhir, hingga diremehkan oleh seorang doktor yang bekerja di sebuah lembaga, hanya karena saya mengambil tema tugas akhir yang bisa dibilang sulit, dan meragukan saya bisa menyelesaikannya. Tentu, pada saat itu saya menangis, tetapi saya masih tak mau menyerah. Saya kembali mencari di tempat lain selama enam bulan sebelum pada akhirnya saya sukses mendapatkan data untuk tugas akhir.

Di kampus, saya dibimbing oleh “profesor R” dengan sangat baik. Saat sidang tugas akhir, saya hadapi semua pertanyaan dari penguji tanpa hambatan, dan di akhir sidang saya mendapatkan nilai A. Pada akhir semester tersebut, IPK akhir saya hampir menyentuh angka 3.5, serta penelitian tugas akhir saya dipublikasikan ke dalam jurnal teknik perminyakan. Tak hanya sampai di situ, beberapa bulan setelahnya, atas rekomendasi profesor R saya ditugaskan untuk membantu Engineer lain untuk mengerjakan proyek pengembangan lapangan di salah satu wilayah di Indonesia. Itu adalah pekerjaan pertama saya di dunia migas. Saat itu, saya optimis sekali akan masa depan saya.

Akan tetapi semuanya berubah saat pandemi datang.

Di awal pandemi, proyek yang saya ikuti pun berakhir. Tak lama setelahnya, profesor R wafat. Entah harus apa, saya pun terus melanjutkan hidup setelahnya. Cari lowongan kerja kesana-kemari, hingga belajar skill baru yang entah bakal berguna atau tidak di kemudian hari. Semua demi bertahan hidup.

Namun saat ini, api bernama passion itu telah padam dalam diri saya. Di hari ini, tanggal 27 April.

Mencari pekerjaan yang sesuai dengan skill saya sangat sulit sekali. Kebanyakan lowongan saat ini hanya mencari orang daerah, atau orang dengan pengalaman kerja yang mentereng, serta memiliki sertifikasi yang biayanya tak murah, jadi perusahaan tidak perlu repot-repot mengeluarkan biaya tambahan. Serta yang lebih parah: merekrut orang dari anggota keluarga atau kerabat sendiri. Saya merasa tak punya kesempatan untuk mengembangkan diri.

Orang bilang, cobalah mencari kerja dengan sistem WFH. Saya pun sudah melakukannya, namun ternyata WFH tak semudah yang dibayangkan kebanyakan orang.

Apa yang saya telah pelajari seakan tidak ada artinya.

Namun, hidup terus berjalan, dan tak terasa sudah lima tahun sejak pandemi.

Saya pun kembali melangkah di jalur kehidupan, sebagai orang yang biasa-biasa saja, tanpa cita-cita atau tujuan di depan mata.

#Note

Kamera Lomo LC-A+ 35 mm.

Saya kenal kamera ini pertama kali pada saat saya mengunjungi Lomography Store di bilangan Jakarta Selatan bersama teman, circa 2009.

Saya jatuh cinta pada pandangan pertama pada kamera ini.

Kamera ini adalah salah satu kamera yang ingin sekali saya beli, selain kamera Diana Mini yang juga merupakan keluaran Lomography. Sayangnya, harganya cukup mahal bagi saya yang masih pelajar SMA kala itu. Sekitar 1 juta Rupiah. Saya pun hanya bisa membayangkan dapat memiliki kamera ini suatu hari, dan jalan-jalan bersama serta memotret apapun yang saya suka.

Dua tahun berselang, kesempatan untuk membeli kamera ini pun datang. Tidak di Jakarta, melainkan saat berada di negara tetangga, Singapura.

Saat itu, program pertukaran pelajar yang saya ikuti di Singapura baru saja berakhir. Di minggu terakhir sebelum saya pulang ke tanah air, saya pergi ke Orchard Road untuk membeli beberapa oleh-oleh untuk keluarga. Saat saya mengunjungi Tangs, secara tidak sengaja saya menemukan Lomography Store di sana. Tanpa berpikir panjang, mampirlah saya ke sana.

Saat melihat-lihat, saya pun menemukan beberapa kamera Lomo LC-A+ berada dalam kondisi masih baru, tanpa lecet sama sekali, dipajang di sana. Yang lebih mengejutkan lagi adalah harga kameranya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di Jakarta, yaitu sekitar S$100 (dengan kurs S$1 = Rp6500, kala itu). Saat itu, saya punya uang (dari keluarga dan dari sekolah) yang nilainya lebih dari cukup untuk membeli kamera impian saya ini. Namun entah mengapa, saya mengurungkan niat untuk membelinya, lalu meninggalkan toko dengan tangan hampa.

Belasan tahun kemudian, harga kamera ini naik empat kali lipat dan hampir menyentuh angka 5 juta Rupiah. Selain mahal, kamera ini pun sulit ditemukan.

Rasa menyesal karena tidak membeli pun sampai sekarang masih membekas di hati.

#Note

Saya adalah tipe orang yang lebih senang berolahraga di rumah, daripada harus pergi ke Gym.

Hal tersebut bukan tanpa alasan.

Saya punya sebuah pengalaman menyakitkan saat berolahraga di Gym, yang membuat saya enggan ke Gym lagi.

Suatu ketika, saya memutuskan untuk olahraga di Gym karena pada saat itu saya merasa tubuh saya mulai mudah lelah dan ingin tubuh saya lebih fit, serta cuaca saat itu selalu hujan, jadi saya tak bisa berolahraga di luar ruangan.

Inilah kali pertama saya pergi ke Gym, dan saya memutuskan untuk pergi pada pagi hari karena saya pikir bakal sepi.

Sesampainya di Gym (yang hanya diisi oleh beberapa orang), saat berada di kasir saya langsung ditawari apakah saya berminat buat kartu anggota atau tidak. Saya menjawab tidak usah, karena saya ingin coba-coba dulu. Saya betul-betul tak tahu apa-apa soal Gym.

Seperti tempat Gym pada umumnya, di tempat Gym yang saya datangi saat itu terdapat berbagai macam alat untuk melatih otot. Setelah melihat sana-sini, saya pun memutuskan memilih treadmill karena saya cukup suka lari dan hanya ingin tubuh saya lebih fit saja. Tak haruslah tubuh saya berotot. Asal tubuh saya fit, itu saja sudah cukup.

Saya pun berlari di treadmill selama 35-40 menit. Selama saya berlari di treadmill, ada satu orang yang cukup memperhatikan saya berlari menggunakan treadmill sambil menggunakan alat berat untuk melatih otot.

Setelah puas (dan lelah) berlari menggunakan treadmill, saya pun beristirahat. Saat beristirahat, orang yang daritadi terus memperhatikan saya tiba-tiba bilang begini ke saya:

“Kalau cuma lari buat cari keringat, nggak usah ke Gym, mas.”

Saya, yang tiba-tiba dikatai oleh orang yang tak saya kenal dengan ucapan seperti itu, langsung sedih dan sakit hati karenanya, bahkan hampir menangis di tempat. Saya saat itu pun lantas tak berpikir panjang dan memutuskan untuk beres-beres dan pulang ke rumah. Sejak saat itu, saya pun memantapkan hati untuk tak berolahraga di Gym lagi. Lebih baik saya berolahraga di rumah saja.

#Note

Dua minggu terakhir ini, saya kembali mencoba menggunakan Obsidian sebagai aplikasi note taking utama di PC, menggantikan Joplin yang sudah saya pakai selama beberapa tahun terakhir ini.

Saya tahu Obsidian pada tahun lalu secara tak sengaja saat mencari-cari blog dengan tema Digital Garden. Awalnya, saya cukup kesulitan pakai Obsidian karena UI-nya tak terlihat ramah untuk pemula seperti saya ini. Belum lagi plugin-nya yang banyak sekali, membuat saya tak tahu harus mulai dari mana.

Melihat video dari Odysseas ini, saya diingatkan bahwa niat saya untuk memakai Obsidian, yah, untuk menulis apapun yang ingin saya tulis, jadi tak usah terlalu banyak pikir soal plugins atau setup mana yang terbaik untuk pemula. Pakai saja dulu, toh di kemudian hari bakal tahu bakal butuh apa.

#Note

“Saya Menganggap blog saya ini seperti apa, sih?”

Sebelum saya membaca tulisan dari Joel Hooks, saya memperlakukan blog saya harus ditulis sesempurna mungkin agar orang-orang senang membacanya. Membangun Personal Brand, seperti Resume yang sempurna dan tertata rapih. Begitulah apa yang saya pikirkan. Namun, semakin saya memikirkan semua itu secara mendalam, bukannya memotivasi saya untuk menulis, saya justru tertekan dan takut untuk menulis.

“Berhenti menulis sempurna, dan anggap blog sebagai digital garden.”

Setelah membaca tulisan Joel Hooks (dan beberapa blog lainnya), saat ini saya menganggap blog saya sebagai digital garden. Kebun yang berisi aneka macam tulisan: opini-opini, ulasan apapun yang baru saya dapat atau ketahui, kumpulan puisi; baik yang dibuat sendiri maupun dari orang lain, atau rekomendasi lagu-lagu yang baru saya dapat. Tulisan panjang atau pendek, sempurna maupun tidak, yang ditulis dengan atau tanpa rencana. Seperti itulah. Dengan menulis apa yang saya minati dan tak harus sesempurna mungkin, saya bisa menulis dengan bebas, lepas, tanpa beban. Saya menulis dari dan untuk diri saya sendiri, dan jika orang lain suka dan terbantu dengan tulisan saya, tentu saya akan senang.

Jadi, tetaplah menulis apapun dan bagaimanapun yang kau mau.

Lebih lanjut: – https://joelhooks.com/on-writing-morehttps://joelhooks.com/digital-gardenhttps://maggieappleton.com/garden-history

#Note

“Trust takes years to build and it takes seconds to destroy.”

Begitulah apa yang saya pikirkan ketika saya melihat-lihat lagi berita mengenai Mozilla akhir-akhir ini. Setelah kepergian mereka dari Fediverse pada akhir tahun lalu, hingga pihak Mozilla yang menghapus janji untuk “tidak menjual data pengguna” dalam FAQ Firefox, membuat kepercayaan saya terhadap Mozilla (dan Firefox) betul-betul hilang seutuhnya.

Sudah hampir 20 tahun saya menggunakan Firefox sebagai browser utama. Mulai circa 2005-2006, ketika saya masih duduk di bangku SMP dan baru kenal dengan Windows, hingga saat ini di mana saya menggunakan Linux sebagai OS utama. Plugin (atau addons) yang bervariasi untuk berbagai macam kebutuhan, hingga bagian about:preferences dalam browser yang dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan pengguna, membuat saya betah dengan browser ini selama hampir dua dekade, di antara banyaknya browser berbasis Chromium di luar sana.

Saat ini, saya menghapus browser Firefox di semua perangkat yang saya miliki dan beralih menggunakan browser alternatif, baik itu di PC maupun di mobile phone. Untuk PC, LibreWolf dan Zen Browser menjadi pilihan saya, di mana Zen Browser memiliki UI yang rapih dan cocok untuk pengguna kasual maupun pemula, serta LibreWolf untuk pengguna yang menginginkan kebebasan tanpa harus berkompromi dengan privasi serta keamanan. Sementara di mobile phone, saya masih kesulitan memilih browser mana yang bisa diandalkan, namun untuk saat ini saya menggunakan Fennec, yang bisa diunduh di F-Droid.

Sejauh ini, saya cukup suka dengan alternatif-alternatif yang saya pakai sekarang, walaupun memang masih ada kekurangan di sana-sini. Semoga para developer maupun volunteer bisa membantu mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut.

Goodbye, Firefox.

#Note #Firefox

Pekan lalu, saat sedang menjelajahi sosial media, secara tak sengaja saya mendapati seorang rekan saat SMA, L, baru saja menikah. Ia memposting kegiatan pre-wedding hingga pesta pernikahannya di sosial media. Karena ia berasal dari keluarga yang bisa dibilang mapan, tentulah acaranya terlihat mewah.

Apakah saya diundang? Tentu saja tidak. Dekat dengan dia saja rasanya tidak. Terlebih lagi, saya memang sengaja menjauhi rekan-rekan saat SMA karena masa lalu yang tak menyenangkan (dan tak ingin membuka luka lama). Saking tak menyenangkan masa-masa itu, hal apapun yang mengingatkan saya pada masa tersebut, seperti buku tahunan SMA, saya buang ke tempat sampah. Kalaupun saya diundang, saya mungkin tak akan datang karena tak ingin bertemu rekan yang lain dan orang-orang yang tak saya kenal.

Buat L, saya ucapkan selamat atas pernikahannya. Semoga kalian berdua bahagia dan langgeng selalu.

#Note