ひとりワンルーム

This is my life

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata “Singapura”?

Mungkin sebagian besar orang akan berkata: Changi Airport, kota yang bersih, Orchard Road, atau bahkan surga belanja.

Namun buat saya tak demikian.

Belasan tahun yang lalu, Singapura adalah rumah sekaligus tempat menimba ilmu.

Saat SMA, saya memberanikan diri untuk mendaftar program pertukaran pelajar ke luar negeri. Tak disangka-sangka, saya pun diterima oleh salah satu sekolah di Singapura untuk menimba ilmu selama setahun penuh. Tak pikir panjang, saya pun menerimanya.

Beberapa bulan setelah pengumuman tersebut, saya pun berangkat ke Singapura bersama 30 orang lainnya, yang mungkin adalah putra-putri terpilih bangsa (tidak termasuk saya, tentunya). Selama hampir dua jam di pesawat, banyak dari kami terlihat sumringah, serta wajah berseri-seri, penasaran seperti apa rasanya belajar di Singapura nantinya.

Setelah saya mendarat di bandara Changi yang bersih nan wangi, saya pun langsung diantar ke tempat tinggal saya selama satu tahun ke depan, dan setelahnya saya coba mengeksplorasi tempat di sekitar saya tinggal.

Lalu beberapa hari kemudian, hari saya bersekolah di Singapura pun tiba.

Saya ditempatkan (sendirian) di salah satu sekolah co-ed yang cukup terkenal di Singapura, dengan fasilitasnya yang super lengkap. Saat orientasi dan berkeliling sekolah, saya membayangkan diri saya menikmati semua fasilitas sekolah tersebut selama setahun ke depan.

Di sekolah tersebut, saya berteman baik dengan dua orang, sebut saja L (laki-laki, asal Singapura) dan Z (perempuan, asal Tiongkok). Bersama mereka berdualah, saya belajar dan berpetualang lebih dalam seputar Singapura.

Pernah suatu ketika, saya mengajak mereka berdua datang ke tempat saya tinggal, lalu saat tengah mengobrol bersama mereka, saya nyeletuk ke mereka berdua, “kenapa, ya, kolam renang di sini jarang ada yang pakai?”

Mereka pun lantas menjawab dengan tegas: “tak ada waktu untuk itu.”

Saat itu, saya bingung mendengar jawaban mereka. Mengapa tak ada waktu? Kalau di Indonesia, kolam renang sebegini bagusnya nggak bakal dianggurin kosong begini. Kok, di Singapura bisa seperti ini?

Di akhir periode saya bersekolah di sana, saya pun akhirnya paham jawaban mereka berdua.

Ya, mereka tak ada waktu untuk itu. Tak ada waktu untuk bersenang-senang di negara ini.

Sekolah memang baru mulai pukul delapan, namun pukul enam, di saat langit Singapura masih gelap, siswa sudah mulai berdatangan. Mereka bersekolah sampai sore dengan berbagai macam materi pelajaran yang jauh lebih kompleks daripada materi pelajaran dalam negeri. Belum lagi tambahan kegiatan klub hingga malam bagi mereka yang mengikuti klub. Lalu, setelah kegiatan klub selesai, ada lagi les serta pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, serta belajar hingga dini hari, demi mengejar nilai sempurna. Begitu seterusnya. Berenang di kolam renang, bermain di taman, apa itu?

Selama setahun di sana, waktu bermain saya bisa dihitung dengan jari. Saya hanya sekali ke Sentosa (dengan Universal Studio-nya), sekali ke Merlion untuk foto-foto dengan L dan Z, dan dua kali ke Orchard Road. Saya lebih banyak menghabiskan waktu mengejar transportasi umum, di sekolah serta perpustakaan, dan sesekali ke Bras Basah untuk mencari art supply dan buku bekas. Hampir tak pernah terpikir di saya untuk bersenang-senang, apalagi berbelanja.

Lalu, warga Singapura pun tak seramah yang saya temukan di Changi Airport. Orang-orang di sana, terutama orang dewasa saat itu jarang saya lihat berekpresi. Ekspresi mereka datar. Mereka sibuk dengan dirinya serta kegiatannya masing-masing. Pengalaman saya yang berkesan di sana adalah saat saya pulang dari Bras Basah bersama Z dan kami kehujanan. Saat kami berdua meneduh, ada seorang bapak memberikan potongan karton untuk dipakai menggantikan payung. Lalu, saya bersama Z lantas berlari dengan karton di atas kepala, menuju halte bus. Keramahan yang jarang saya temukan di Singapura.

Lalu, setahun berjalan di sana dengan segudang pengalaman menyenangkan dan tak menyenangkan, tiba saatnya saya untuk kembali ke tanah air. Pengalaman saya saat di Singapura tak akan saya lupakan.

Terimakasih banyak.

#Note

Saya bermain Monster Hunter Portable 3rd untuk pertama kalinya!

Sebelum ini, saya sudah pernah bermain Monster Hunter Freedom Unite (MHFU) selama ratusan, atau bahkan ribuan jam gameplay (saya sudah bermain MHFU sejak 2010, dikala masih punya PSP).

Saya agak kagok main MHP3rd ini. Mungkin karena baru pertama kali.

Maps serta monster yang tak familiar, ditambah lagi beberapa translasi yang tak sempurna (ya, tak ada English version untuk game ini. Hanya mengandalkan fan translation), membuat saya kebingungan harus mulai dari mana.

Saya akan main pelan-pelan saja. Quest demi quest. Yang penting saya menikmatinya.

#Note #Games #PSP #MHP3rd

Di minggu lalu, ada pertanyaan menarik yang masuk, kira-kira seperti ini:

“Di dunia yang tampaknya semakin memburuk, bagaimana kamu akan menjalani hidup, dan apa proses berpikir yang kamu gunakan untuk membuat hidupmu terasa tidak terlalu menyedihkan?”

Mungkin saya bakal kilas balik sedikit.

Saat saya masih berumur 20-an, saya merasa bahwa saya tak menikmati hidup saya sepenuhnya.

Saya menghabiskan setengah dekade 20-an saya dengan berkuliah lama (karena saya tak pintar) serta mencari pekerjaan (yang tak mudah). Tidak hanya itu, saya pun menghabiskan hampir setengah dekade 20-an saya dengan masalah mental, yang menyebabkan saya harus ke Psikiater tiap bulannya sampai dengan saat ini.

Efek sampingnya, saya jadi tak bisa mengingat hal-hal kecil atau kejadian yang sudah terjadi di saat saya masih berusia 20-an. Saya tak ingat sama sekali apa yang sudah terjadi saat tahun 2012 hingga 2022, selain kuliah, mencari pekerjaan serta pandemi.

Namun, hal yang saya masih ingat saat saya masih berusia 20-an adalah bagaimana saya tak bisa menjadi diri saya sendiri. Seringkali saya harus berbohong agar bisa diterima oleh orang lain, serta bagaimana saya mencoba untuk menyenangkan semua orang. Seperti itulah kehidupan saya pada usia 20-an: memakai topeng serta kepribadian palsu agar saya dapat diterima oleh orang lain.

Saat memasuki usia 30-an, saya memutuskan untuk mencoba menikmati setiap momen dalam hidup saya, sekecil apapun. Saya mencoba untuk jujur, apa adanya kepada orang lain. Saya mengapresiasi setiap pertemuan dan perpisahan pada orang-orang yang saya temui. Saya tak lagi memikirkan “Apakah saya diterima dengan baik olehnya?” dan lebih ke “Diterima dengan baik atau tidak olehnya, ya sudahlah. Saya sudah berusaha semampuku.” Intinya, kalau saya suka dengan seseorang saya akan katakan langsung, kalau tidak suka saya akan mengatakan alasannya atau lebih baik menghindar darinya. Selain itu, saya mengapresiasi keluarga saya serta teman-teman saya yang masih bertahan dengan saya sepenuh hati, dan support mereka semampu saya jika mereka membutuhkan bantuan.

Saya yang sekarang pun tak lagi ambil pusing setiap kali saya mengambil keputusan dalam hidup. Inilah yang saya pelajari setelah berkonsultasi ke Psikiater selama hampir satu dekade. Saya memutuskan untuk berpikir secukupnya dan tak berpikir terlalu jauh ke depan. Tentu berpikir ke depan itu penting, namun terlalu memikirkan hal-hal yang bakal terjadi ke depannya, terutama hal buruk, justru membuat saya cemas dan membuat saya takut mengambil keputusan, serta akhirnya tak melakukan apapun. Saya selalu mengingatkan kepada diri saya sendiri bahwa masa depan yang kelihatannya buruk belum tentu akan terjadi, jadi nikmatilah momen saat ini sebaik mungkin.

Sekian.

#Note

Beberapa hari belakangan ini, saya ingin sekali menulis di blog namun tak ada satupun ide yang muncul di kepala.

Sampai pada hari ini, saya memutuskan untuk melontarkan pernyataan di Fediverse seperti ini:

“Ask me a question, and I'll answer on my blog.” (Tanyakan saya sebuah pertanyaan, dan saya akan jawab di blog.)

Tak lama setelahnya, ada pertanyaan masuk (akhirnya!) dari seseorang.

Pertanyaannya adalah:

“How you discover Fediverse?” (Bagaimana saya menemukan Fediverse?)

Saya menemukan Fediverse pada awal tahun 2020, atau pada saat pandemi dimulai. Saat itu, saya sangat lelah sekali melihat berita mengenai pandemi di Twitter dan Instagram. Awalnya, saya coba beristirahat dengan tak melihat sosial media selama beberapa hari, namun hal tersebut ternyata tak cukup menyingkirkan rasa lelah saya. Di bulan April 2020, saya pun memutuskan untuk menghapus semua sosial media mainstream saya (seperti Twitter dan Instagram) dan mencari alternatif. Berkat website Privacy Tools, saya pun menemukan Mastodon.

Awalnya, saya cukup kebingungan memilih server atau instance mana yang harus saya gunakan. Pada akhirnya, saya pun memilih Minoh-don sebagai instance pertama saya karena di sana tak seramai mstdn social, misalnya.

Sudah lima tahun lebih sejak saya bergabung di Fediverse. Selama jangka waktu tersebut, saya sudah berpindah instance beberapa kali (ya, saya instance hopper). Selain itu, saya berkenalan dengan banyak orang baik di Fedi, bahkan ketemu dengan beberapa diantaranya in real life. Akhir kata, saya merasa nyaman di sini (Fediverse), dan saya tak menyesali dengan keputusan saya.

Terimakasih banyak.

#Note

Sudah hampir dua bulan saya meninggalkan ibukota, mencari penghidupan yang lebih baik.

Saya memutuskan untuk keluar dari ibukota awal Juli lalu karena mencari pekerjaan di sana sangatlah sulit sekarang ini.

Ini bukan kali pertama saya merantau.

Sejak remaja hingga saat ini, saya sudah beberapa kali merasakan tinggal di daerah lain dalam waktu lama—mulai dari Makassar di Sulawesi Selatan, Samarinda dan Balikpapan di Kalimantan Timur, hingga negeri tetangga, Singapura.

Saat ini saya berada di suatu desa kecil di Sulawesi Selatan.

Dua minggu setelah pergi dari ibukota, saya mengikuti tes kesehatan di sebuah perusahaan, dan saat ini saya sedang menunggu hasil tes kesehatan saya, sebelum saya tanda tangan kontrak dan mulai bekerja.

Jauh dari rumah, ibukota, dan segala kepraktisannya, semata-mata untuk hidup yang lebih baik nantinya.

Semoga saya baik-baik saja di sini. Terimakasih banyak.

#Note

Kemarin, saya sudah bercerita mengenai perjalanan saya bersama KM Labobar dari Jakarta sampai Makassar.

Kali ini, saya akan melanjutkan cerita saya saat berada di pelabuhan Makassar. Pengalaman yang tak menyenangkan.

Kronologinya seperti ini:

Saya tiba di pelabuhan Makassar pada hari Jumat (4/7), tengah malam.

Pada perjalanan kali ini, saya membawa dua tas, satu tas berukuran besar serta tas berukuran sedang. Saat turun, saya langsung membawa kedua tas tersebut (walau dengan susah payah). Saat di tangga, turun dari kapal, ada satu kuli pengangkut barang bersikeras ingin mengangkut tas besar saya, namun saya tolak karena saya masih bisa angkat sendiri. Namun, bukannya pergi si kuli tersebut malah seenaknya mengambil tas saya (sambil marah-marah ke saya), menaruhnya di mobil pengangkut barang, dan mobil tersebut pergi ke area luar pelabuhan. Saya sampai teriak-teriak untuk memberhentikannya, namun tas besar saya tetap diangkut ke luar pelabuhan.

Pasrah, saya pun bergegas mengambil tas saya di area luar pelabuhan. Di depan, jemputan yang saya sudah pesan pun telah datang dan saya pun memerintahkan sang supir untuk ke area luar pelabuhan untuk mengambil tas saya. Saat si supir menyalakan mesin mobil, mobil saya dicegat oleh seorang preman yang meminta “tarif masuk pelabuhan” sebesar 100 ribu Rupiah. Saya yang sudah capek ingin sekali marah-marah, namun teringat kalau preman di Makassar terkenal kasar, bawa kerumunan atau teman, dan suka bawa senjata tajam. Karena saya melihat cukup banyak preman di sana (dan daripada saya terluka), saya pun pasrah saja sambil merogoh seratus ribu Rupiah di kantong dan pergi dari sana.

Saya tak dipalak sampai di situ, karena saat di luar area pelabuhan saya pun kembali dipalak oleh kuli pengangkut barang sebesar seratus ribu Rupiah. Saya protes, karena saya tak menyuruh mereka untuk mengangkut barang saya. Namun, karena saya kalah jumlah (saya sendirian di sana), jadi saya kembali merogoh uang seratus ribu di kantong.

Sejauh ini, sudah 200 ribu Rupiah melayang.

Setelah mengambil tas besar saya, saya pun bilang ke supir untuk keluar dari sana. Akan tetapi, saya pun kembali dicegat oleh satpam dan kembali dimintai uang sebesar 15 ribu Rupiah. Uang buat keluar pelabuhan, katanya.

Jika ditotal, uang sebesar 215 ribu Rupiah melayang untuk si preman, kuli, dan satpam di pelabuhan Makassar.

Sepertinya nggak lagi-lagi saya turun kapal di pelabuhan di Makassar. Lain kali, saya bakal naik pesawat saja kalau ke Makassar (walau tarifnya lebih mahal). Saya berharap pelabuhan Makassar ini bisa disidak oleh aparat yang berwajib, jadi orang-orang merasa aman dan nyaman saat berada di pelabuhan Makassar, bukannya stres sambil misuh-misuh.

#Note #Traveling

Jika kalian diberi kesempatan untuk mengunjungi Indonesia bagian tengah atau bahkan bagian timur, transportasi manakah yang kalian pilih?

Tentunya, setiap orang memiliki preferensi masing-masing, tak kerkecuali dengan saya.

Kalau saya, jika harga tiket pesawat sudah dirasa terlalu mahal namun saya punya banyak waktu luang, saya akan memilih naik kapal laut.

Dan itulah yang saya lakukan pada minggu lalu.

Minggu lalu, saya menaiki kapal milik Pelni, yaitu KM Labobar dengan rute Tanjung Priok, Jakarta ke Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan saya dimulai pada tanggal 1 Juli dan berakhir pada tanggal 4 Juli tengah malam.

Saya membeli tiket kapal sekitar satu minggu sebelum keberangkatan. Karena saya memilih untuk berangkat ke Makassar pada awal bulan Juli, saya pun memilih KM Labobar yang berangkat pada tanggal 1 Juli.

Alasan saya naik kapal laut kali ini sangatlah simpel: ini bukanlah pertama kalinya saya naik kapal milik Pelni. Terakhir kali saya naik kapal Pelni adalah pada tahun 2019, di mana pada saat itu tiket pesawat sedang mahal-mahalnya. Selain itu, saya tergoda dengan promo diskon 50 persen dari Pelni untuk semua rute hingga akhir Juli 2025, dan saya tak ada masalah jika harus menghabiskan waktu tiga hari di perjalanan. Jika harga tiket naik pesawat dari Jakarta ke Makassar saat ini mulai dari 1.3 juta Rupiah, saya mendapatkan tiket kapal laut kali ini seharga 287 ribu Rupiah saja. Empat kali lipat lebih murah.

Setelah membeli tiket kapal, selama seminggu saya pun riset sedikit mengenai KM Labobar. Yang saya ketahui, KM Labobar dibuat pada tahun 2003 di Jerman dan dioperasikan oleh Pelni pada tahun 2004. Jadi sudah sekitar 21 tahun KM Labobar berlayar. Usia kapal ini termasuk muda dibanding kapal Pelni lainnya yang sudah berumur 30 atau bahkan 40 tahun. Selain itu, kapal ini berkapasitas sekitar 3000 hingga 4000 penumpang dan termasuk salah satu kapal dengan kapasitas terbesar milik Pelni.

Setelah membeli tiket dan riset, saatnya berangkat!

1 Juli (Hari Pertama)

Sekitar pukul 9:30, saya sudah sampai di Pelabuhan Tanjung Priok untuk menukarkan bukti pembelian tiket saya dengan boarding pass. Lalu, dua jam setelahnya saya pun memasuki KM Labobar.

Boarding pass dengan logo dan desain baru Pelni.

Kesan awal saya sesaat setelah memasuki KM Labobar adalah kondisinya yang terlihat kumuh. Ranjang yang kotor dan lengket, coretan vandal di dinding serta langit-langit dek, kecoa yang jalan kesana-kemari, lantai basah yang tidak dipel, hingga toilet yang bau membuat saya cukup syok. Kukira karena kapalnya termasuk “baru,” jadi setidaknya agak bersih dibandingkan kapal yang saya naiki sebelumnya. Nyatanya tak demikian, rupanya.

Awalnya saya menempati bagian depan di dek 2 kelas ekonomi, namun karena udaranya pengap dan bau, AC-nya pelan, serta saya mual lama-lama di sana, saya pun mencari ranjang kosong di dek 5 pada kelas yang sama. Setidaknya di sana ada jendela, udaranya tak sepengap di dek 2, dan AC-nya cukup sejuk.

Tempat saya di dek 2, sebelum pindah ke dek 5.

Tempat saya di dek 5.

Pukul 12:30, saya pun solat di masjid yang terletak di dek 7. Dari semua fasilitas kapal yang ada, mungkin fasilitas masjid-lah yang terbaik. Tempat wudhu bersih, area solat berkarpet, serta AC-nya sejuk membuat saya betah lama-lama di sini.

Pemandangan Pelabuhan Tanjung Priok dari dek 7 KM Labobar, 30 menit sebelum keberangkatan.

Sekitar pukul 13:00, KM Labobar pun berangkat dari Jakarta menuju Surabaya. Perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya ditempuh dalam waktu sekitar 25 jam.

Karena kapal berangkat pada siang hari, para penumpang belum dapat diberikan makan siang oleh petugas. Sekitar satu jam setelah kapal berangkat, saya pun menyeduh cup noodle di dek 4, tempat air panas berada, namun satu jam setelahnya saya pun merasa mual, mungkin karena ini kali pertama saya makan cup noodle lagi setelah sekian tahun lamanya. Saya pun minum obat maag dan kembali tidur di ranjang saya hingga waktu makan malam.

Saat waktu makan malam tiba, saya hanya duduk di atas ranjang saya sambil menyantap bekal yang saya bawa dari Jakarta, tanpa pergi ke dapur kapal untuk mengambil makan malam. Setelah saya makan, petugas mulai datang untuk memeriksa tiket para penumpang, dan setelahnya saya kembali tidur.

2 Juli (Hari Kedua)

Hari kedua, kondisi saya mulai membaik. Saat subuh, saya pergi ke masjid untuk solat dan setelahnya saya menikmati sunrise di dek 7. Setelah puas menikmati pemandangan, saya pun mengambil boarding pass saya dan pergi ke dapur yang berada di dek 4 untuk sarapan. Menu sarapan di hari kedua adalah nasi putih dengan ayam lada hitam, sosis dan kerupuk, beserta air mineral dan susu UHT.

Menu sarapan pada hari kedua.

Pukul 14:30, kapal pun sandar di Surabaya. Saat berangkat dari Jakarta penumpang di kapal belumlah banyak, namun begitu di Surabaya keadaan berubah 180 derajat. Hampir semua ranjang terisi penuh di semua dek—bahkan saking penuhnya beberapa penumpang lebih memilih untuk tidur di lorong atau dekat tangga.

Pukul 19:00, kapal berangkat menuju Makassar, tujuan saya. Menu makan malam di hari kedua adalah nasi putih dengan ayam lada hitam (lagi), sayur tumis, dan daging giling(?), beserta air mineral.

Menu makan malam di hari kedua.

3-4 Juli (Hari Ketiga)

Di hari terakhir ini, saya berkenalan dengan rombongan yang terdiri dari ayah, ibu, serta kedua anaknya yang masih SD. Ia naik dari Surabaya dan berencana turun di Papua. Anaknya senang sekali bermain dengan saya. Kami bertiga pun bermain lego hingga main gim di Nintendo DS yang saya bawa. Selain keluarga tersebut, saya pun juga berkenalan dengan seorang santri yang kebetulan juga turun di Makassar. Kami pun mengobrol banyak hal, dan mendapati bahwa ia cukup sering bepergian, bahkan ke luar negeri.

Menu sarapan dan makan malam di hari ketiga.

Tak banyak hal yang saya lakukan pada hari terakhir ini. Sore hari, saya pun beres-beres barang bawaan saya dan memastikan tak ada barang yang tertinggal.

Sekitar pukul 00:00, kapal pun sandar di Makassar. Dengan demikian, perjalanan saya bersama KM Labobar pun berakhir.

Foto bagian depan KM Labobar saat sandar di Pelabuhan Makassar.

Kesimpulan

Buat saya, tak semua orang bakal betah naik kapal milik Pelni, apalagi kalau perjalanannya jauh dan makan waktu berhari-hari.

Kondisi kapal Pelni itu mirip seperti kereta api jarak jauh di era 90-an akhir hingga 2000-an awal—sebelum pak Jonan mengubah wajah perkeretaapian seperti sebagus sekarang. Kumuh dan seadanya. Saya berharap transportasi kapal laut, terutama dari kapal Pelni lebih diperhatikan oleh pemerintah dan bisa dirombak penuh menjadi lebih baik seperti halnya kereta api.

#Note #Traveling

Beberapa hari yang lalu, saya melihat salah satu cuplikan acara televisi Jepang yang mewancarai salah satu mantan idol yang sudah memasuki usia 30-an. Di acara tersebut, ia bercerita bahwa ketika ia graduate (atau berhenti dari aktivitas idol) di akhir usia 20-an, ia ingin sekali untuk menikah, bahkan sampai di tahap desperate. Namun, ketika ia memasuki usia 30 tahun dan masih belum memiliki pasangan, niatnya untuk menikah pun perlahan sirna, seperti balon yang kempes.

Pengalaman sang mantan idol rasanya cukup relate dengan saya.

Di awal hingga pertengahan umur 20-an, saya fokus untuk kuliah dan bekerja. Saya hampir tak pernah kepikiran untuk mencari pasangan di kampus maupun di tempat kerja. Namun, ketika akhir 20-an, di saat teman dan rekan sebaya satu per satu memiliki pasangan hidup lalu menikah, saya pun ikut mencari pasangan hidup, mulai dari dikenalkan teman hingga bergabung di aplikasi dating. Akan tetapi, usaha tersebut tak membuahkan hasil sama sekali, entah karena gaya hidupnya yang terlalu glamor dari perspektif saya, obrolan serta pemikiran kami berdua yang tak sejalan satu sama lain, atau yang lebih parah: di-ghosting.

Sudah beberapa tahun berlalu sejak saya memasuki usia 30-an, dan keinginan untuk mencari pasangan pun pelan demi perlahan sirna, sama seperti mantan idol di acara TV tersebut. Saya pun menghapus akun aplikasi dating saya karena dirasa tak berarti.

Sekarang, saya sudah pasrah.

Saya berharap, semoga Tuhan dapat mempertemukan saya dengan seseorang yang terbaik buat saya di masa depan, yang entah kapan. Atau, jika keinginan tersebut tak dikabulkan, setidaknya saya tak mati dalam kesepian.

#Note

Saat SD, saya ini termasuk anak yang malas belajar (dan juga malas mengerjakan tugas). Sungguh.

Sepulang sekolah, saya pasti main ke rumah teman atau rental PS untuk bermain gim PlayStation One (PS1). PR? Tidur siang? Apa itu?

Sore harinya, saya pun kembali bermain bersama teman untuk main bola sepak di jalanan dekat rumah atau dekat masjid hingga azan magrib berkumandang. Malamnya, saya menonton anime favorit saya (di Lativi dan juga TV7).

Intinya, saya cukup menikmati masa kecil saya.

Sampai pada kelas 5 SD, saya dipertemukan oleh seorang guru yang mengubah hidup saya 180 derajat.

Sebut saja ia dengan nama “bu Elen”. Perawakan boleh paruh baya, namun semangat mengajarnya masih tinggi sekali.

Ia terkenal di kalangan kakak kelas karena ia adalah guru ter-killer di SD saya. Ia tak hanya galak, ia bahkan tak segan-segan memukul muridnya jika sang murid tak bisa menyelesaikan suatu soal, apapun pelajarannya.

Saat kelas 4 SD, banyak teman saya berdoa agar tidak diajar oleh bu Elen, tak terkecuali dengan saya.

Akan tetapi, semesta berkehendak lain. Saya pun diajar olehnya saat kelas 5.

Dari sinilah saya yang pemalas ini digembleng olehnya.

Suatu hari di bulan Agustus 2004. Saat itu pelajaran Matematika dan sedang membahas materi pembagian dengan angka ribuan hingga puluhan ribu. Saat itu, saya cukup memahami pembagian satuan hingga puluhan, namun tidak dengan pembagian dengan angka ribuan, apalagi puluhan ribu. Saya berharap agar materi ini cepat berlalu.

Nyatanya tidak demikian.

Setelah materi ini selesai dibahas, ternyata bu Elen memanggil kami satu persatu untuk mengerjakan soal di papan tulis. Jika menjawab salah, sang murid harus berdiri di depan kelas sampai kelas selesai.

Dan tiba giliran saya untuk maju dan mengerjakan soal matematika yang ada di papan tulis.

Saya pun keringat dingin, tak bisa mengerjakan soal pembagian tersebut.

Sepuluh menit berlalu, dan saya hanya terdiam, sambil sesekali menulis angka yang ngawur. Bu Elen terus menunggu.

15 menit berlalu, bu Elen pun habis kesabaran dan berkata “sudah, berdiri kamu di samping papan tulis sampai kelas selesai.”

Berdiri di depan kelas sendirian cukup membuat saya malu. Namun, saat itu saya masih belum kapok.

Keesokan harinya, bu Elen kembali menulis soal pembagian di papan tulis. Hanya saja, soal-soal ini ditujukan untuk mereka yang tak dapat menyelesaikannya kemarin. Berarti, saya masih harus maju ke depan dan berkutat dengan soal pembagian ini.

Dan tiba giliran saya untuk maju ke depan, dan saya pun tak dapat mengerjakannya. Alhasil, saya pun kembali berdiri di samping papan tulis.

Kemudian teman saya, A, maju ke depan. Sama seperti saya, ia pun tak bisa menyelesaikan soal di papan tulis.

Mungkin karena kesabaran bu Elen sudah habis, ia pun menghampiri A lalu memukulnya dengan penggaris kayu. Semua murid terkejut, termasuk saya.

Lalu ia berkata kepada A dan saya, “kalau sampai besok kalian masih tidak bisa pembagian, jangan harap kalian bisa ulangan, dan jangan pernah kalian menginjakkan kaki di kelas saya lagi. Paham?”

Saya pun mengangguk.

Setibanya di rumah sepulang sekolah, saya pun membuka buku matematika dan belajar pembagian dengan serius. Saya mencoba mengerjakan soal-soal matematika yang ada di buku, sambil sesekali bertanya kepada orangtua saya. Pokoknya sampai saya mengerti. Sambil frustrasi, bahkan menangis, saya belajar hingga malam, sampai-sampai saya melewatkan anime favorit saya.

Keesokan harinya, tentu saja saya dipanggil kembali untuk mengerjakan soal pembagian di papan tulis. Saya pun maju ke depan dan mengerjakan soal tersebut.

Walaupun agak kesulitan, namun saya bisa menyelesaikan soal tersebut dengan benar.

Bu Elen puas dengan jawaban yang saya berikan, dan saya diperbolehkan duduk kembali. Syukurlah.

Akan tetapi, teman saya, A, kembali tak dapat menyelesaikan soal di papan tulis. Ia benar-benar diusir keluar kelas dan disuruh pulang ke rumah. Bu Elen berkata ia tak boleh masuk kelas sebelum benar-benar memahami materi pembagian.

Sejak hari itu, saya memutuskan untuk belajar dengan serius. Bukan hanya di pelajaran matematika, namun juga pada pelajaran lainnya. Sepulang sekolah, saya langsung mengulangi materi yang telah saya pelajari di sekolah dan mengerjakan soal-soal yang ada di buku maupun di LKS. Saya pun juga jadi rajin mengerjakan PR. Saya tak ingin merasakan malunya berdiri di depan kelas karena tak bisa mengerjakan soal lagi. Sejak hari itu pula, frekuensi bermain saya pun berkurang, bahkan saya hanya bermain PS1 di akhir pekan saja.

Hasilnya pun mulai terlihat pada semester dua. Nilai 9 dan 10 mulai sering muncul dalam tugas-tugas maupun ulangan saya di berbagai macam pelajaran. Saya pun menutup akhir semester dua dengan menempati peringkat 8 dari 40 siswa.

Saat kelas 6, saya tak diajar olehnya namun saya memutuskan untuk tetap rajin belajar. Saya memutuskan untuk les karena saya ingin masuk ke SMP incaran saya, namun untuk masuk ke sana dibutuhkan nilai General Test yang tinggi (pada saat itu belum ada Ujian Nasional). Belajar, belajar, dan belajar. Begitulah kehidupan saya saat kelas 6 SD. Saya pun hanya bermain pada hari Minggu, itu pun jika saya sudah selesai mengerjakan PR. Saat semester satu dan dua, saya berada pada peringkat 5 dari 40 siswa; peringkat tertinggi saya selama enam tahun di SD. Tak hanya itu, saat semester dua, saya (bersama sembilan murid lainnya) mewakili SD saya untuk mengikuti lomba General Test antar wilayah Jakarta, dan sekolah kami berhasil meraih peringkat pertama. Di akhir tahun, saya pun meraih nilai General Test yang bisa dibilang bagus dan berhasil masuk ke SMP incaran saya.

Terima kasih banyak, bu Elen. Tanpa Ibu, nasib saya mungkin akan jauh berbeda daripada saat ini.

#Note #MayChallenge

If you could have dinner with anyone who has passed away, who?

Jawaban singkat saya: pacar saya, Akemi.

Sudah hampir 15 tahun sejak ia berpulang, dan ingin rasanya bisa ketemu sekali lagi dengannya.

Tak haruslah kami makan di tempat mewah. Cukup dengan makan malam dengan menu mie ayam di pinggir jalan, rasanya sudah cukup. Seperti dulu. Saya yakin ia bakal mau.

Saya ingat terakhir kali ia ke Jakarta di tahun 2009, saya ajak dia main ke sekitaran Senayan, mulai dari baca buku di perpustakaan Japan Foundation, main ke Plaza Senayan, hingga jajan di 7-11. Dari siang hingga sore hari. Pada malam harinya, sebelum pulang ke rumah, kami berdua makan mie ayam di sekitaran FX. Kalau saya tak salah ingat, itulah momen pertama ia makan mie ayam.

Momen saat makan mie ayam itu masih teringat samar-samar di saya. Deg-degannya saya apakah perutnya bakal cocok dengan makanan pinggir jalan, senyum manisnya saat makan mie ayam yang menurutnya enak, lalu raut wajah lelah orang-orang sekitar yang baru pulang kerja, macetnya Jalan Sudirman, bunyi klakson-entah dari Metromini hingga mobil pribadi di sana-sini, serta bus oranye TransJakarta yang sesekali lewat. Saya kangen momen-momen itu.

Beberapa bulan kemudian, giliran saya mengunjunginya di Jepang. Ia mengajak saya makan di luar beberapa kali, mulai dari restoran cepat saji hingga makan sushi di tempat yang terlihat mewah. Namun, momen makan mie ayam bersamanya tetap tak tergantikan bagi saya.

Seandainya saya bisa makan malam bersamanya lagi.

#Note #MayChallenge